Senin, 15 April 2019
Katie Bouman & Lubang Hitam: Dunia Sains Bukanlah Dunia Laki-Laki
LB89.COM - Lubang hitam, atau populer dengan nama black hole, untuk pertama kalinya, dalam sejarah, berhasil difoto dan dirilis secara visual pada Rabu (10/4) kemarin oleh para ilmuwan dari National Science Foundation.
Sosok yang dianggap berjasa dalam pencapaian ini adalah peneliti muda bernama Katie Bouman. Ia dikenal sebagai ilmuwan dan dosen ilmu komputer di California Institute of Technology. Dalam beberapa tahun belakangan, Bouman fokus mempelajari metode pencitraan serta mengembangkan algoritma terkait upaya visualisasi lubang hitam.
Bouman, tulis Dave Bangert dalam “That First-ever Black Hole Picture? A West Lafayette Grad Played a Big Part” yang dipublikasikan Journal & Courier (2019), pertama kali melakukan riset pencitraan kala ia membantu profesornya di Purdue University, Indiana, pada 2008.
Sebelumnya, Katie lulus dengan predikat summa cum laude dari Michigan University. Kemudian, ia melanjutkan studi di Massachusetts Institute of Technology dan meraih gelar master dalam bidang teknik elektro. Di MIT pula, Bouman turut menuntaskan gelar doktornya. Disertasinya yang berjudul “Extreme Imaging via Physical Model Inversion: Seeing Around Corners and Imaging Black Holes” memperoleh penghargaan Ernst Guillemin sebagai disertasi terbaik.
Mulanya, Katie tak terlalu paham dengan lubang hitam. Namun, ia kadung punya gairah besar untuk mengetahui tentang hal tersebut sehingga memutuskan untuk bergabung dengan The Event Horizon Telescope Imaging, tim kolaborasi lintas disiplin yang beranggotakan 200 lebih peneliti yang dibentuk untuk menangkap potret black hole. Di tim ini, peran Katie cukup krusial: ia membikin algoritma yang membantu metode pencitraan agar black hole bisa dilihat.
“Kami semua menyaksikan ketika gambar muncul di komputer. Cincin itu datang dengan mudah. Itu tidak bisa dipercaya,” ungkap Bouman tak lama setelah ia dan timnya berhasil memotret lubang hitam, seperti dilaporkan Time. “Sangat sulit untuk menjaga bibir agar tetap tertutup. Aku bahkan belum memberi tahu keluargaku tentang foto itu.”
Para Srikandi di Angkasa
Dekade 1940 merupakan waktu yang sulit bagi perempuan, apalagi perempuan kulit hitam, di AS. Statistik mencatat hanya 2 persen saja dari mereka yang bisa memperoleh gelar sarjana dan lebih dari setengahnya berkarier menjadi guru.
“Untuk waktu yang lama, orang-orang Afrika-Amerika tidak diizinkan untuk membaca dan menulis,” terang Lee Shetterly, penulis Hidden Figures: The American Dream and the Untold Story of the Black Women Who Helped Win the Space Race (2016).
Namun, tiga perempuan ini, Katherine Johnson, Dorothy Vaughan, serta Mary Jackson, membuktikan bahwa perempuan bisa punya peran publik. Pekerjaan mereka, sebagai ahli matematika, tulis The Guardian dalam “How History Forgot the Black Women Behind Nasa’s Space Race,” telah mendukung beberapa kemajuan terbesar dalam aeronautika.
Ketiganya bekerja di NACA━sekarang NASA━dan bernaung di bawah komando tim “West Computer.” Kondisi di NASA waktu itu tidaklah ramah terhadap perempuan. Pemisahan tempat kerja, berdasarkan warna kulit, putih dan hitam, masih diterapkan dengan tegas. Bagi “West Computer” situasinya lebih sulit lagi: mereka tidak bisa promosi ke jabatan yang lebih tinggi.
Batasan tersebut coba diterabas oleh Johnson, Vaughan, dan Jackson. Vaughan, misalnya, pada 1951, berhasil menjadi kepala unit kulit hitam pertama di Langley━markas NASA. Sementara yang dicapai Johnson lebih fenomenal lagi: menulis laporan tentang penerbangan orbital━menjadi penelitian pertama yang ditulis perempuan━hingga menyusun perhitungan lintasan luar angkasa untuk misi pendaratan Apollo di bulan pada 1962.
Membicarakan misi pendaratan bulan juga tak akan lengkap tanpa menyebut nama Margaret Hamilton. Pada pertengahan 1960-an, MIT, sebagaimana dilaporkan Smithsonian, mencari orang yang dapat membantu pemrograman misi pendaratan manusia di bulan. Mendengar kabar itu, Hamilton, yang tengah meneliti tentang software, segera mendaftarkan diri.
Ia kemudian diangkat menjadi Kepala Divisi Rekayasa Perangkat Lunak di Laboratorium Instrumentasi MIT yang berdedikasi untuk menulis dan menguji program perangkat lunak dua komputer berbobot 70 pon (sekitar 30 kg), Columbia (modul perintah) dan Eagle (modul bulan), demi keberhasilan misi pendaratan Apollo 11.
Perangkat lunak ciptaan Hamilton, pada akhirnya, mampu menjadi bagian integral dalam misi pendaratan manusia di bulan. Hamilton membuat program yang memungkinkan komputer untuk mengenali potensi kesalahan dan menghindari langkah-langkah yang tak perlu dalam misi sehingga berhasil membawa Neil Armstrong dan Buzz Aldrin mendarat di bumi dan bulan dengan selamat pada 1969.
Pencapaian tersebut begitu monumental mengingat teknologi komputer masih dalam pertumbuhan. Ini bisa disimak kala para astronot hanya memiliki akses sebesar 72 kilobita saja ke memori komputer.
Prestasi serupa dicapai pula oleh Nancy Roman. Ketika masih kecil, ia begitu penasaran dengan alam semesta. Ia juga rajin melahap buku apa saja yang berhubungan dengan ruang angkasa. Ia sadar bahwa mimpinya adalah menjadi seorang astronom.
Pada 1959, mimpinya terwujud: Nancy bergabung dengan NASA. Di lembaga ini, Nancy bertanggung jawab untuk mengembangkan program astronomi dan luar angkasa. Ia bepergian dari satu kampus ke kampus untuk menggali aspirasi dari para astronom. Mendiskusikan bagaimana menciptakan sistem observasi luar angkasa yang ideal.
Setahun berselang, seperti dilaporkan The Guardian, Nancy mengumpulkan 30 astronom dan insinyur NASA untuk membahas gagasan tentang teleskop berukuran besar. Hitung-hitungannya, teleskop ini butuh biaya 20 kali lipat dari harga biasanya. Nancy ingin membikin semuanya nampak masuk akal.
Proses pembahasan pun berlangsung. Masing-masing pihak, astronom dan insinyur, berbicara dengan bahasa teknis yang sulit bertemu di satu titik. Di sinilah peran Nancy muncul: ia menjembatani dan menerjemahkan keinginan kedua pihak.
Pembuatan teleskop besar ini nyatanya butuh waktu yang tak sebentar. Baru pada 1990, teleskop yang diberi nama “Hubble” tersebut berhasil diluncurkan. Saat Hubble dilepas, Nancy sudah menjalani masa pensiun. Kendati begitu, Hubble tak akan lahir tanpa kontribusi Nancy.
Selain Hubble, pencapaian lain Nancy di NASA adalah mengembangkan sejumlah observatorium ruang angkasa yang berukuran kecil lewat program “Orbiting Astronomical Observatory” antara 1966 hingga 1972. Program ini menghasilkan empat buah observatorium yang dapat menyediakan ruang untuk pengamatan benda-benda langit dengan kualitas tinggi.
Melawan Ketimpangan di Dunia Sains
Di balik prestasi yang ditorehkan Katie, ada keadaan yang memprihatinkan: di dunia sains dan penelitian nyatanya tak ramah perempuan. Beberapa indikator yang jelas terlihat: perempuan dilecehkan saat kerja lapangan, sering tak disertakan dalam proyek, dan sulit untuk mendapat promosi.
Di Perancis, ambil contoh, menurut studi yang disusun Lorena Rivera Leon, Jacques Mairesse, dan Robin Cowan (2016), fisikawan perempuan di Centre National de la Recherche Scientifique (CNRS) dan universitas negeri di Perancis sulit mendapatkan jabatan yang lebih tinggi meskipun sama-sama produktifnya dengan kolega pria. Di CNRS, presentasinya hanya 6,3 persen, sedangkan di berbagai universitas negeri bisa menyentuh angka 16,3 persen.
Contoh serupa juga bisa dilihat di Afrika Selatan. Di negara asal Nelson Mandela ini, ras memainkan peran penting dalam ketimpangan gender di dunia sains. Riset menunjukan, dalam rentang 2002 hingga 2011, tidak ada perbedaan besar pada pola promosi peneliti kulit putih berdasarkan jenis kelamin: 60,1 persen pria kulit tidak dipromosikan dan 60,6 persen peneliti perempuan mengalami hal yang sama.
Namun, kesenjangan, masih menurut riset Lorena dkk., melebar begitu dramatis ketika melibatkan latar belakang etnis dan ras: 70,4 persen pria dan 69,2 persen perempuan non-kulit putih tidak mendapatkan promosi karier.
Kurangnya partisipasi perempuan dalam sains coba ditepis oleh NASA. Lembaga pemerintahan ini tak cuma menempatkan perempuan dalam pucuk pimpinan melainkan juga secara konsisten menyediakan ruang bagi perempuan untuk berkembang.
Jabatan Kepala Ilmuwan NASA dipegang oleh Ellen Stofan; Kepala Teknologi dan Informasi NASA dijabat oleh Deborah Diaz; Teresa Vanhooser menjalankan salah satu fasilitas terbesar NASA untuk membangun roket; dan Tara Ruttley bertanggung jawab atas program sains di Stasiun Luar Angkasa Internasional. Yang lebih menyenangkan lagi: untuk pertama kalinya, setengah dari kelas astronot diisi perempuan.
Kendati tergolong progresif dalam upaya menghilangkan ketimpangan gender, NASA tetap tak luput dari kritik. Dalam “A Place for Women in Space” (2019) yang dipublikasikan di Foreign Policy, Holly Thomas menulis bahwa bentuk ketidakramahan terhadap perempuan bisa dilihat dari aspek teknis.
Di NASA, perempuan diharuskan untuk beradaptasi dengan perangkat teknis yang sejak awal didesain untuk laki-laki: dari seragam astronot, mesin pesawat, suhu kantor, hingga gajet yang pas dengan tangan pria. Keadaan inilah yang besar kemungkinan membuat dua astronot perempuan NASA, Anne McClain dan Christina Koch, gagal melakukan perjalanan ruang angkasa bersama pada Maret kemarin karena alasan “ukuran seragam yang tidak sesuai.”
Dalam “Gender Inequalities in Science Won’t Self-correct: It’s Time for Action” yang dirilis di The Conversation, Sarah Hamilton, Ana Vila Concejo, Luciana Esteves, dan Shari Gallop mengemukakan beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mengurangi ketimpangan gender di dunia sains.
Pertama, memastikan keadilan dalam representasi perempuan di konferensi hingga dewan redaksi jurnal sains. Kedua, mempromosikan karier perempuan yang punya prestasi cemerlang. Ketiga, mewaspadai bias gender dalam perekrutan, promosi, dan kinerja sehari-hari. Keempat, memberi dukungan kerja yang lebih baik setelah cuti hamil. Dan terakhir, meluruskan perspektif bahwa dunia sains bukan dunia laki-laki.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar